MARXISME DAN ANTROPOLOGI

Pada tahun 70-an, Marxisme mulai muncul setelah banyak belahan dunia ketiga merdeka dan menghadapi soal-soal pembangunan pasca kolonial. Persoalan teori Marxian dalam hubungannya dengan dunia non-Barat mengangkat persoalan mengenai kedudukan antropologi. Antropologi, dilihat selaku produk pencerahan maupun Imperialisme, tidak diragukan lagi adalah anak kandung Barat. Jalan keluar dari lingkaran setan eksploitasi yang sering terjadi dapat dikaitkan dengan perkembangan antropologi Marxis yang menentang secara radikal persoalan kolonialisme, Obyek kajian antropologi, dan perubahan: yang mengkonfrontasi secara mendasar kajian antropologi konvensional dengan mengangkat kembali persoalan hakikat, fondasi-fondasi teoritis dengan tujuan-tujuan moral disiplin. Bukan berarti saat ini masalah-masalah tersebut telah diselesaikan oleh antropologi Marxis; tentu saja belum banyak yang berhasil didefinisikan hingga kini.
Salah satu gerakan utama dalam antropologi selama dua dasawarsa lalu adalah dialog intensif antara antropologi sosial “konvensional” dan Marxisme. Dengan mengajukan seperangkat persoalan, melakukan identifikasi pada wilayah yang masih kabur dalam hubungan-hubungan pelik antara Marxisme dan antropologi. Yang menjadikan seseorang Marxis adalah kesetiaan terhadap doktrin apabila hanya ekonomi yang pada akhirnya menentukan (determinan).
Jika demikian halnya, banyak borjuis yang benar-benar Marxis dalam perilaku mereka! Konsep-konsep dasar materialisme historis dapat diubah dan seberapa sahih seseorang masih dapat dapat mengklaim dirinya sebagai  bekerja dalam kerangka Marxisme merupakan teka-teki yang belum jelas sama sekali.
Namun demikian, hasil-hasil proses ini terlihat jelas dalam perdebatan mengenai mode produksi. Yang menjadi masalah disini adalah tidak ada konsensus di kalangan antropolog Marxis bahwa (i) apakah mode-mode produksi memang ada; (ii) jika ada, bagaimana mendefinisikannya (iii) jika telah didefinisikan, bagaimana mereka saling berhubungan satu sama lain, konsisten, berubah, menghilang, berartikulasi, dan lain sebagainya; (iv) sekali lagi, dengan berasumsi bahwa mode-mode produksi memang ada, berapapun banyak jumlahnya. Perkembangan luar biasa dari mode-mode produksi (yang sifatnya domestik, lineage, Afrikan, Kolonial…) menunjukkan bahwa ada sesuatu yang benar-benar keliru dalam mode analisis yang terlalu bangga akan ketepatannya.
Pada dasarnya, hanya ada satu jawaban konkret  untuk  mengetahui bahwa mode produksi merupakan prasyarat pertama dalam menjalankan ( dan akhirnya, mengabsahkan) perangkat analitis materislisme historis.
 Sekali usaha-usaha permulaan ini bisa dicapai (bersama-sama penjernihan istilah-istilah terkait lainnya seperti tentang “formasi sosial”)
antropologi Marxis dapat bergerak secara realistis kepada analisis konkret tentang masalah-masalah yang nyata.
Kehendak dari para antropolog Marxis untuk bertahan dalam problematika antropologi pra dan non-Marxis, menunjukkan adanya kelanjutan nyata dari minat terhadap antropologi sosial konvensional. Tentu saja ada alasan-alasan intelektual dan sosiologis, kekuasaan yang masih berlanjut dari paradigma konvensional, monopoli dalam posisi akademis, dan lain sebagainya. Namun apapun latar belakang masalah ini, hal tersebut telah menghasilkan kemajuan konkret yang menonjol mengenai antropologis Marxis, yaitu: (i) usaha menerapkan materialisme historis kepada masyarakat segmenter, yang berbasis liniage, (ii) telah menghasilkan keseluruhan inovasi-inovasi tambahan  termasuk kritik terhadap teori “kaum distribusionis” antropologi ekonomi, (iii) organisasi kegiatan-kegiatan produktif dan landasan teknisnya, (iv) kajian pembagian kerja erdasarkan jenis kelamin dan umur, sebagai prinsip stratifikasi.
Beberapa persoalan teoritis yang mendasar, yang harus dihadapi antropologi Marxis jika ingin membangun wewenang dan kelangsungan hidupnya sendiri. Persoalan-persoalan ini mengenai : (i) hubungan antara basis dan superstruktur, sebagaimana dalam kasus masyarakat-masyarakat “primitif” yakni: kekerabatan jadi penentu, dan bukan ekonomi; (ii) pengembangan, pemaparan secara jernih, dan analisis empiris mengenai konsep dan aktivitas “reproduksi”; (iii) pemaparan secara jernih peran para tetua dalam hubungannya dengan yang lebih muda, dan laki-laki dalam hubungannya dengan perempuan dalam masyarakat kekerabatan;(iv) analisis kekerabatan sebagai ideologi, dan tentu saja dalam beberapa kasus.
Hampir setiap antropolog di saat yang sama akan mengklaim bahwa materialisme historis tidak bisa bersifat mekanis belaka ( ia harus sanggup memperhitungkan kompleksitas hubungan-hubungan aktual) dan harus benar-benar berdasarkan kekayaan etnogrfis perihal data konkret. Pada akhirnya, antropologi mempelajari manusia: koordinasi analisis ilmiah dan data yang melimpah tetap memberi tantangan yang nyata bagi antropologi Marxis. Yang terpenting tentu saja tidak mencakup keseluruhan masalah yang masih harus menjadi urusan antropologi Marxis. Dua diantaranya yaitu: Ideologi dan Kekuasaan. Yang pertama, dalam antropologi sosial konvensional, persoalan tersebut biasanya dibuang ke bawah rubrik “sistem-sistem kepercayaan” yang mencakup semua bentuk kebudayaan yang bersifat mental dan pelbagai manifestasinya. Teori ideologi lantas bukan menjadi topik pinggiran yang berurusan dengan analisis sekunder tentang “superstruktur” ( usaha nyata yang diletakkan dalam analisis landasan material).Namun sebagai tambahan, persoalan ideologi membangkitkan persoalan lain yang langsung muncul dalam antropologi Marxis, yaitu kekuasaan.
Persoalan ideologi harus membawa pada persoalan kekuasan: bukan hanya karena logikanya, namun sebagai prioritas intelektual dan politik antropologi Marxis, kemunculannya harus didukung, bukan karena masih ada teori kekuasaan yang memadai, tetapi karena memang tidak ada. Pada gilirannya ini merupakan dasar perubahan gagasan yang lebih lanjut dalam problematika secara konvensional tentang politik, kekerabatan, ekonomi, agama, sosialisasi, dan tentu saja konsep pokok tentang kebudayaan itu sendiri.
Cukup berbeda dengan katagori kedua, yaitu mencakup penjernihan atas perdebatan tentang antropologi dalam kaitannya dengan kolonialisme dan imperialisme; pengakuan atas peran sejarah; elaborasi metode dialektis dalam antropologi; pembangunan jembatan yang lebih baik antara antropologi Marxis dan sosiologi pengetahuan, dan secara khusus dalam perkembangan-perkembangan sosiologi kritis.
Sosiologi borjuis telah ambil bagian dalam isu-isu tersebut dan meletakkannya dalam rubrik “sosiologi pembangunan”. Sekalipun ide sosiologi pembangunan yang ada saat ini jarang dimungkinkan. Dalam hal ini, ilham dasar dari Marx sedang berada dalam proses trnsformasi ke dalam perangkat alat analisis yang kuat demi memahami masyarakat-masyarakat yang kolonial, postkolonial dan masyarakat kapitalis pinggiran.

Comments

Popular posts from this blog

Tiwultoon untuk Desa (Klinik Desa Archieve 2016-2018)

Refleksi Akhir Kelas etnografi Jawa Madura 2013