Blues on The Bus (Etnografi Transportasi Bagian 2)

Kantor Unit Parangtritis YK.
Perjalanan dari Jogjakarta menuju Malang via Surabaya pada tanggal 31 Maret 2013 meninggalkan suatu pengalaman yang menurut saya menarik. Luar biasanya terletak pada pengamen di bus yang berbeda dari biasanya. Musik yang ditampilkan oleh pengamen ini bukan musik yang pada umumnya ditampilkan seperti dangdut, campursari, rock, lagu balada sampai lagu ciptaan sendiri. Tapi pengamen yang ada pada video amatis tersebut adalah unik karena menyanyikan lagu Blues. 

Selepas pintu tol keluar daerah Porong, bus Restu melaju menuju kearah selatan. Saat melintas Japanan sempat berhenti sejenak dan beberapa saat kemudian terdengar suara agak paruh dari sosok yang membawa gitar dan berambut gondrong. Awalnya saya mengira kalau pengamen ini akan menyanyikan lagu-lagu balada macam Ebiet atau Iwan Fals. Ternyata perkiraan saya salah, karena pengamen ini menyanyikan lagu blues dengan penuh penjiwaan. Nampak beberapa penumpang terlihat menerima tanpa merasa terganggu walaupun bisa jadi merasa asing dengan musik yang disajikan. 

Musik Blues adalah musik perjuangan, ekspresi diri dari para kaum Afro-Amerika untuk menyuarakan kata hati dari kerasnya kehidupan. Musik blues lahir dari kawasan Deep South Amerika Serikat pada abad ke-19. Ciri utama dari musik Blues adalah  bar blues dua belas progresi akord yang paling umum dengan catatan biru, mencatat bahwa untuk tujuan ekspresif yang dinyanyikan atau dimainkan secara bertahap rata atau menekuk (minor 3 untuk 3 besar) sehubungan dengan lapangan dari skala besar. 

Musik Blues berasal dari kaum budak dalam konstelasi situasi yang rasis dan diskriminatif, anehnya justru musik bisa merambah penikmat dari lintas ras. Diciptakan oleh ras kulit hitam, namun dapat merambah penggemar dari kulit putih. Mengapa dinamakan Blues? kok bukan Pink, Hijau bahkan Mejikuhibingiu? 
Istilah "blues" mengacu pada "Blues Devil", yang berarti melankolis dan kesedihan, penggunaan awal istilah dalam pengertian ini ditemukan pada George Colman s 'satu babak sandiwara Blue Devils (1798). Meskipun penggunaan frase dalam musik Amerika Afrika mungkin lebih tua, telah dibuktikan sejak tahun 1912, ketika Hart Wand s '" Dallas Blues "menjadi hak cipta pertama komposisi blues. Lyrics frase sering digunakan untuk menggambarkan suasana hati tertekan . 

Blues dan Keroncong
Blues mempunyai kesamaan nasib dengan musik keroncong. Sama-sama berasal dari dunia perbudakan, diskriminatif dan kaum-kaum termarginalkan. Jika blues berasal dari para budak Afro-Amerika di negeri paman sam, berbeda dengan Keroncong yang berasal dari kaum merkandiker dari daerah Tugu (bukan Tugu Jogja). Kedua musik ini merupakan sarana kaum-kaum marginal (atau termarginalkan) untuk menyarakan kata hati. Saya mencoba melakukan analisa kedua musik ini dalam perspektif struktural-fungsional. Struktural fungsional  merupakan pengembangan dari fungsionalisme dalam analisis yang lebih komplek karena membahas relasi antar institusi sosial.  Radcliffe-Brown membuat analogi tentang kerang di laut dalam menganalisa fenomena sosio-kultural. Ia membuat analogi yang terkenal bahwa dalam mempelajari suatu masyarakat tidak berbeda dengan mempelajari kerang di laut (Radcliffe-Brown 1955 via Barnard 2004:72). 
Radcliffe-Brown

Setiap kerang di laut mempunyai strukturnya sendiri, namun struktur tersebut sama dengan struktur yang lain. Hal ini juga terjadi dalam masyarakat, terdapat bagian dari struktur yang khas dalam suatu masyarakat, namun ditempat lain juga terdapat persamaan dari bagian struktur tersebut. Demikian juga jika dikaitkan dengan kedua musik di atas, berada dalam 'laut' yang sama, juga memiliki struktur yang berbeda namun terdapat kesamaan pada lain aspek. Eksploitasi manusia adalah isu utama dalam musik tersebut, karena keduanya berasal dari tindakan perbudakan dalam melanggengkan kekuasaan penjajah atau pihak-pihak yang merasa superior. Menurut Eric Wolf, penumpukan kekayaan (merkantilis) diambil dalam tiga cara: pertama,. Membeli saham dari surplus dari sungai overlords dan menyediakan barang-barang di kembali,; kedua, Pertukaran terbuka dengan pengumpul dan produsen utama, dan ketiga,  Perdagangan budak.  Perdagangan budak merupakan dehumanisasi yang menganggap manusia seperti barang dan dapat diperjualbelikan dengan proses tawar menawar tertentu. Implikasinya adalah akan timbul keresahan pada korban yang kemudian diekspresikan dalam bentuk kesenian terutama seni musik. 

Rujukan 

Barnard, A., 2004. History and Theory in Anthropology. UK: Cambridge University Press. 
http://www.thecrowdvoice.com/ diakses pada tanggal 11 April 2013

Comments

Popular posts from this blog

Refleksi Akhir Kelas etnografi Jawa Madura 2013