TEORI RESIPROSITAS
Dewasa ini banyak ahli antropologi ekonomi yang menaruh perhatian terhadap gejala pertukaran yang menggunakan uang. Perhatian seperti ini sangat penting sejalan dengan kenyataan bahwa transformasi ekonomi tradisional menuju sistem ekonomi modern sedang melanda di berbagai tempat, sejak berkembangnya penjajahan sampai pada masa globalisasi sekarang ini. Resiprositas yang menjadi ciri pertukaran dalam perekonomian tradisional sedang berubah dan berhadapan dengan sistem pertukaran komersial. Sistem pertukaran mempunyai peranan penting dalam memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap barang dan jasa, kesejahteraan hidup warga masyarakat disamping dipengaruhi oleh sistem produksi yang dipakai juga dipengaruhi pula oleh sistem perkawinan yang berlaku.
Beberapa ahli telah mengulas konsep resiprositas dari Polanyi untuk menerangkan fenomena pertukaran dalam masyarakat yang menjadi perhatian mereka (Dalton, 1961;1968; Sahlins,1974; halperin dan Dow,1980). Secara sederhana resiprositas adalah pertukaran timbal balik antar individu atau antar kelompok. Batasan tersebut tidak mengungkapkan karakteristik dari pelaku pertukaran. Polanya telah meletakkan landasan tentang pengertian resiprositas dengan menunjukkan karakteristik dari pelaku pertukaran tersebut. Polanyi (1968) mengungkapkan:
“Reciprocity is enormous facilitated by the institutional pattern of symetry, a frequent feature of organization among non literate peoples.”
Rasa timbal balik (resiprokal) sangat besar yang difasilitasi oleh bentuk simetri institusional, yang ciri utama organisasi orang-orang yang tidak terpelajar. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa tanpa adanya hubungan simetris antar kelompok atau antar individu, maka resiprositas cenderung tidak akan berlangsung. Hubungan simetris ini adalah hubungan sosial, dengan masing-masing pihak menempatkan diri dalam kedudukan dan peranan yang sama ketika proses pertukaran berlangsung.
Karakteristik lain yang menjadi syarat sekelompok individu atau beberapa kelompok dapat melakukan aktivitas resiprositas adalah adanya hubungan personel diantara mereka. Pola hubungan ini terutama terjadi di dalam komunitas kecil dimana anggota-anggotanya menempati lapangan hidup yang sama. Dalam komunitas kecil itu kontrol sosial sangat kuat dan hubungan sosial yang intensif mendorong orang untuk berbuat untuk mematuhi adat kebiasaan. Sebaliknya, hubungan impersonal tidak bisa menjamin berlakunya resiprositas karena interaksi antar pelaku kerja sama resiprositas sangat rendah sehingga pengingkaran pun semakin muncul.
Proses pertukaran resiprositas lebih panjang daripada jual beli. Proses resiprositas yang panjang jangka waktunya sampai lebih dari satu tahun, misalnya sumbang menyumbang dalam peristiwa perkawinan. Dalam kenyataannya, proses resiprositas dapat berlangsung sepanjang hidup seorang individu dalam masyarakat, bahkan mungkin sampai diteruskan oleh anak keturunannya. Pentingnya syarat adanya hubungan personal bagi aktivitas resiprositas adalah berkaitan dengan motif-motif dari orang melakukan resiprositas. Motif tersebut adalah harapan untuk mendapatkan prestise sosial seperti misalnya: penghargaan, kemuliaan, kewibawaan, popularitas, sanjungan, dan berkah. Motif tersebut tidak hanya ditujukan kepada pihak-pihak yang melakukan kerja sama resiprositas, tetapi juga lingkungan dimana mereka berada.
Menurut Sahlins (1974), ada tiga macam resiprositas, yaitu: resiprositas umum ( generalized reciprocity), resiprositas sebanding ( balanced reciprocity), dan reciprocitas negative (negative reciprocity).
1. Resiprositas umum (generalized reciprocity)
Resiprositas ini, individu atau kelompok memberikan barang atau jasa kepada individu atau kelompok lain tanpa menentukan batas waktu pengembalian. Dalam resiprositas umum tersebut tidak ada hukum yang dengan ketat mengontrol seseorang untuk memberi atau mengembalikan. Hanya moral saja yang mengontrol dan mendorong pribadi-pribadi untuk menerima resiprositas umum sebagai kebenaran yang tidak boleh dilanggar. Pelanggaran mungkin akan akan dinilai sebagai suatu perbuatan munafik, dosa, durhaka, tidak bermoral dan sebagainya. Orang yang melanggar kerja sama resiprositas ini bisa mendapat tekanan moral dari “masyarakat” atau “kelompok” berupa peringatan atau gunjingan yang dapat menurunkan martabat dalam pergaulan di masyarakat.
Sistem resiprositas umum biasanya berlaku di lapangan-lapangan orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat dekat. Berdasarkan faktor-faktor genetis mereka mempunyai naluri untuk meneruskan keturunan dan melindungi anggota-anggotanya bukan semata-mata dilandasi oleh harapan-harapan akan pengembalian dan haknya, tetapi sebagai suatu kodrat yang dibenarkan secara subyektif. Meskipun faktor genetis patut diperhitungkan terhadap gejala resiprositas umum dalam lingkungan kerabat, tetapi terjadinya gejala tersebut merupakan peristiwa kebudayaan yang keberadaannya tergantung dari proses-proses sosial-kultural yang terjadi dalam masyarakat. Selain itu, konsepsi tentang kerabat dan bukan kerabat merupakan konsepsi yang bersifat kultural, bukan genetik. Dalam masyarakat yang menganut sistem kekerabatan keluarga luas (extended family) misalnya, resiprositas umum menjadi mekanisme yang penting untuk mengatur distribusi barang dan jasa antar keluarga batin.
2. Resiprositas sebanding (balanced reciprocity)
Resiprositas ini menghendaki barang atau jasa yang dipertukarkan mempunyai nilai yang sebanding. Kecuali dalam pertukaran tersebut disertai dengan kapan pertukaran itu berlangsung, kapan memberikan, menerima, dan mengembalikan. Pertukaran ini dapat dilakukan individu dua atau lebih. dalam pertukaran ini, masing-masing pihak membutuhkan barang atau jasa dari partner-nya, namun masing-masing tidak menghendakai untuk memberi dengan nilai lebih dibandingkan dengan yang akan diterima. Jadi berbeda dengan resiprositas umum dimana individu-individu atau kelompok-kelompok terikat oleh solidaritas yang kuat sehingga mereka merupakan satu unit, satu satuan sosial yang utuh.
Ciri resiprositas sebanding ditunjukkan oleh adanya norma-norma atau aturan-aturan atau sanksi-sanksi sosial untuk mengontrol individu-individu dalam melakukan transaksi. bila individu melanggar perjanjian resiprositas, ia mungkin mendapat hukuman atau tekanan moral dalam masyarakat, keputusan untuk melakukan kerja sama resiprositas berada di tangan masing-masing individu. Kerja sama ini muncul karena adanya rasa kesetiakawanan Resiprositas sebanding berada di antara resiprositas umum dengan dengan resiprositas negatif. Secara umum dapat dikatakan bahwa Fungsi resiprositas sebanding adalah membina solidaritas sosial dan menjamin kebutuhan ekonomi sekaligus mengurangi resiko kehilangan yang dipertukarkan. Namun demikian, fungsi sosial tersebut dapat rusak kalau salah satu pihak tidak konsekuen dalam mengembalikan.
3. Resiprositas negatif (negative reciprocity)
Studi tentang gejala pertukaran di dalam perekonomian primitive dan peasant pada mulanya lebih menekankan pada upaya untuk memahami fungsi resiprositas dalam suatu perekonomian dan universalitas dari prinsip-prinsip resiprositas. Transformasi ekonomi di bidang system pertukaran yang terjadi dalam perekonomian masyarakat did Negara-negara berkembang merupakan suatu proses yang terus berjalan. Proses ini sementara menggambarkan dua pola besar. Pertama, hilangnya bentuk-bentuk pertukaran modern. Kedua, munculnya dualisme pertukaran.
Dalam sejarah perkembangan ekonomi, resiprositas merupakan bentuk pertukaran yang muncul sebelum pertukaran pasar. Lambat laun resiprositas tersebut lenyap dan kehilangan fungsi-fungsinya sebagai akibat masuknya sistem ekonomi uang. Dengan berkembangnya uang sebagai alat tukar, maka barang dan jasa kehilangan nilai simboliknya yang luas dan beragam maknanya karena uang dapat berfungsi memberikan nilai standar obyektivitas terhadap barang dan jasa yang dipertukarkan.
Beberapa penelitian antropologi telah mengungkapkan bahwa intervensi ekonomi uang ke dalam sistem ekonomi tradisional tidak selalu menghilangkan sama sekali eksistensi tata nilai lama. Resiprositas sering dinilai sebagai bentuk pertukaran yang manusiawi jika dibandingkan dengan pertukaran pasar. Prinsip kekeluargaan dan kesetiakawanan merupakan bukti bahwa resiprositas lebih manusiawi daripada pertukaran pasar. Wajah resiprositas yang bersifat manusiawi, di lain pihak, sering dipakai para politisi untuk memobilisasi sumber daya dalam masyarakat.
TEORI PEMBERIAN
Sistem dari pemberian-pemberian hadiah secara kontrak di Samoa tidak terbatas hanya dalam hal perkawinan; sistem ini juga muncul dalam peristiwa-peristiwa kelahiran bayi, sunatan, sakit, anak perempuan menginjak pubertas, upacara penguburan orang mati, dan perdagangan. Dua unsur dari potlatch dalam kenyataannya untuk: kehormatan atau harga diri, prestise atau mana yang diikuti oleh kekayaan; dan kewajiban mutlak untuk melakukan pengembalian-pengembalian hadiah yang telah diterima yang diatur oleh adanya hukuman akan kehilangan mana, otoritas, dan kekayaan, kalau tidak melakukannya. Dalam upacara-upacara kelahiran bayi, setelah menerima oloa (harta kekayaan yang bersifat laki-laki) dan tonga (harta kekayaan yang bersifat perempuan), suami dan istri yang melakukan upacara tersebut dalam keadaan tidak lebih kaya daripada sebelumnya. Walaupun demikian mereka itu mempunyai kepuasan dalam mencapai apa yang mereka anggap sebagai kehormatan besar, yaitu adanya harta kekayaan yang mereka kumpulkan selama upacara kelahiran bayi tersebut berlangsung. Pemberian-pemberian ini mungkin sekali pada hakikatnya didasari oleh adanya kewajiban untuk melakukannya dan yang bersifat permanen, dan pengembalian-pengembalian hadiah dilakukan hanya melalui sistem hak dan kewajiban yang memaksakan mereka untuk melakukannya. Sedangkan bagi orang Maori mempunyai sistem tukar-menukar, atau lebih tepat memberi hadiah-hadiah yang pada waktu kemudian harus diimbali atau dibayar kembali. Tukar-menukar dilakukan di antara suku-suku atau keluarga-keluarga yang saling kenal tanpa sesuatu ketentuan atau tawar-menawar untuk saling setuju.
Diinterprestasikan demikian, jadi tidak hanya membuat maknanya menjadi jelas, tetapi ini ternyata muncul sebagai salah satu dari adat-istiadat Maori. Kewajiban yang menempel pada suatu hadiah pemberian bukanlah sesuatu yang “tak berdaya”. Bahkan dalam keadaan tidak diperdulikan oleh si pemberi hadiah, kewajiban tersebut masih menempel pada dan menjadi bagian dari diri si pemberi tersebut. Melalui itu, ia mempunyai kekuasaan atas si penerima hadiah, sementara si pemilik mempunyai kekuasaan atas siapa saja yang mencurinya dari dia.
Prestasi total atau menyeluruh bukan hanya secara bersamaan dengannya membawa kewajiban untuk membayar kembali atau mengimbali pemberian yang telah diterima, tetapi mencakup dua hal lainnya yang sama-sama pentingnya, yaitu: kewajiban memberikan hadiah-hadiah dan kewajiban untuk menerimanya. Sebuah klen, rumah tangga, perkumpulan atau tamu terbatas untuk melakukan barter atau untuk membuat persekutuan-persekutuan darah atau perkawinan. Orang Dayak bahkan telah mengembangkan sejumlah cara yang didasarkan pada kewajiban untuk turut bersama-sama makan segala makanan yang disajikan atau seseorang itu melihat makanan tersebut sedang dimasak
Kewajiban untuk memberi hadiah tidaklah kurang pentingnya. Jika memahami hal ini, maka seharusnya juga mengetahui mengapa manusia sampai melakukan tukar-menukar benda satu dengan lainnya. Menolak untuk memberi hadiah, atau lalai mengundang, adalah sama dengan menolak untuk menerima sama dengan membuat suatu pernyataan perang; ini sama dengan suatu penolakan terhadap saling berhubungan dan persahabatan. Jadi seseorang dapat dikatakan memberi hadiah karena dia didorong untuk melakukan hal itu, karena si penerima mempunyai semacam hak pemilikan atas segala sesuatu yang menjadi milik si donor. Jadi di Australia, orang yang berhutang hewan hasil perburuan yang dibunuhnya kepada bapak dan ibu mertuanya, tidak boleh makan apa pun di hadapan mereka. Terlihat jelas bahwa taonga anak laki-laki dari saudara perempuan mempunyai adat-istiadat seperti ini di Samoa, yang dapat dibandingkan dengan yang dimiliki oleh anak laki-laki saudara perempuan (vasu) di Fiji. Pola dari hak-hak dan saling membalas yang simetris tidaklah sukar untuk dipahami bahwa yang pertama-tama dan yang terpenting adalah sebuah pola dari ikatan-ikatan spiritual di antara benda-benda yang dalam hal-hal tertentu merupakan perluasan dari bagian-bagian pribadi-pribadi, dan pribadi-pribadi dan kelompok-kelompok yang berkelakuan dalam batas-batas tertentu seolah-olah kesemuanya ini adalah benda-benda.
Semua pranata ini menyikapkan pola sosial dan psikologi yang sama macamnya. Makanan, perempuan, anak-anak, harta milik mantera-mantera, tanah,pekerjaan, pelayanan-pelayanan, jabatan-jabatan keagamaan, pangkat segalanya merupakan hal yang harus diberikan kepada orang lain dan dibayarkan kembali. Dalam saling menerima dan memberi hadiah-hadiah yang berlangsung tetap dan terus-menerus, unsur-unsur ini beredar dan beredar kembali di antara klen-klen dan individu-individu, pangkat-pangkat, jenis kelamin dan generasi-generasi.
Manusia berkata bahwa saling tukar-menukar hadiah membawa harta kekayaan yang melimpah-ruah. Ini terungkap di antara orang Toraja di Sulawesi. ‘Pemilik’ dapat membeli dari roh-roh hak untuk melakukan hal-hal tertentu dengan harta miliknya atau lebih tepat ‘harta milik’ mereka. Sebelum ia menebang pohon atau menggali kebunnya atau memagari rumahnya dia harus memberikan suatu pembayaran kepada dewa-dewa. Jadi walaupun masalah membeli nampaknya sangat kecil perkembangannya pada tingkat kehidupan ekonomi secara perorangan di antara orang Toraja. Pemberian hadiah kepada sesama manusia dan kepada dewa-dewa mempunyai tujuan yang lebih jauh untuk membeli perdamaian. Dalam cara ini pengaruh-pengaruh setan akan dapat ditekan, bahkan walaupun pada waktu tidak dipersonifikasi; karena kutukan manusia akan memungkinkan bagi roh-roh yang cemburu dan dengki untuk merasuki dan membunuh seseorang dan memberi izin pengaruh jahat untuk bertindak, dan jika seseorang melakukan kesalahan terhadap seseorang lainnya, seseorang menjadi tidak berdaya terhadap mereka.
Mengenai sedekah, pada orang Hausa seringkali terjadi suatu penyakit demam epidemik pada waktu jagung-guinea sudah siap dipanen, dan cara satu-satunya untuk mengatasinya adalah dengan cara memberikan hadiah-hadiah gandum kepada orang-orang miskin. Selain itu, diantara Orang Hausa di Tripolitania, pada saat dilakukannya sembahyang besar (Baban Salla), anak-anak pergi berkeliling ke gubuk-gubuk penduduk dan berkata: “Bolehkah saya masuk?” Jawaban yang mereka terima adalah: “Oh telinga kelinci yang dilobangi, untuk sepotong tulang seseorang memperoleh pelayanan” (orang miskin berbahagia untuk dapat bekerja dengan orang kaya). Pemberian kepada anak-anak dan orang miskin membuat mereka yang sudah mati merasa berbahagia. Adat-istiadat ini barangkali berasal dari islam, atau mungkin bersumber dari Islam, Negro, Eropa dan Berber.
Disinilah asal mulanya sebuah teori mengenai sedekah. Sedekah di satu pihak merupakan hasil dari ide moral tentang pemberian hadiah dan harta kekayaan dan di pihak lainnya merupakan hasil dari ide tentang korban. Kemurahan hati atau kedermawanan dengan cara memberi hadiah-hadiah kepada mereka yang miskin dan kepada dewa-dewa merupakan syarat penting karena kalau tidak maka Nemesis akan menghancurkan kekayaan dan kebahagiaan yang berlebihan dari si kaya. Ini merupakan moralitas hadiah yang sudah tua yang diangkat ke sesuatu posisi dari suatu prinsip keadilan: dewa-dewa dan roh-roh menyetujui bahwa bagian-bagian yang diperuntukkan bagi mereka dan yang dihancurkan dalam bentuk korban yang tidak ada gunanya yang disajikan kepada mereka adalah sebaiknya dan seharusnya diberikan kepada orang miskin dan anak-anak. Tema ini hanyalah sekedar memperlihatkan pengetahuan yaitu menggeser permasalahan dan menunjukkan bahwa setidak-tidaknya kewajiban untuk memberi itu mempunyai penyaluran yang lebih luas. Kemudian kita akan memperlihatkan persebaran tipe-tipe lain dari kewajiban memberi tersebut dan menunjukkan bahwa interpretasi kita betul untuk sejumlah kelompok dari masyarakat-masyarakat lainnya.
Beberapa ahli telah mengulas konsep resiprositas dari Polanyi untuk menerangkan fenomena pertukaran dalam masyarakat yang menjadi perhatian mereka (Dalton, 1961;1968; Sahlins,1974; halperin dan Dow,1980). Secara sederhana resiprositas adalah pertukaran timbal balik antar individu atau antar kelompok. Batasan tersebut tidak mengungkapkan karakteristik dari pelaku pertukaran. Polanya telah meletakkan landasan tentang pengertian resiprositas dengan menunjukkan karakteristik dari pelaku pertukaran tersebut. Polanyi (1968) mengungkapkan:
“Reciprocity is enormous facilitated by the institutional pattern of symetry, a frequent feature of organization among non literate peoples.”
Rasa timbal balik (resiprokal) sangat besar yang difasilitasi oleh bentuk simetri institusional, yang ciri utama organisasi orang-orang yang tidak terpelajar. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa tanpa adanya hubungan simetris antar kelompok atau antar individu, maka resiprositas cenderung tidak akan berlangsung. Hubungan simetris ini adalah hubungan sosial, dengan masing-masing pihak menempatkan diri dalam kedudukan dan peranan yang sama ketika proses pertukaran berlangsung.
Karakteristik lain yang menjadi syarat sekelompok individu atau beberapa kelompok dapat melakukan aktivitas resiprositas adalah adanya hubungan personel diantara mereka. Pola hubungan ini terutama terjadi di dalam komunitas kecil dimana anggota-anggotanya menempati lapangan hidup yang sama. Dalam komunitas kecil itu kontrol sosial sangat kuat dan hubungan sosial yang intensif mendorong orang untuk berbuat untuk mematuhi adat kebiasaan. Sebaliknya, hubungan impersonal tidak bisa menjamin berlakunya resiprositas karena interaksi antar pelaku kerja sama resiprositas sangat rendah sehingga pengingkaran pun semakin muncul.
Proses pertukaran resiprositas lebih panjang daripada jual beli. Proses resiprositas yang panjang jangka waktunya sampai lebih dari satu tahun, misalnya sumbang menyumbang dalam peristiwa perkawinan. Dalam kenyataannya, proses resiprositas dapat berlangsung sepanjang hidup seorang individu dalam masyarakat, bahkan mungkin sampai diteruskan oleh anak keturunannya. Pentingnya syarat adanya hubungan personal bagi aktivitas resiprositas adalah berkaitan dengan motif-motif dari orang melakukan resiprositas. Motif tersebut adalah harapan untuk mendapatkan prestise sosial seperti misalnya: penghargaan, kemuliaan, kewibawaan, popularitas, sanjungan, dan berkah. Motif tersebut tidak hanya ditujukan kepada pihak-pihak yang melakukan kerja sama resiprositas, tetapi juga lingkungan dimana mereka berada.
Menurut Sahlins (1974), ada tiga macam resiprositas, yaitu: resiprositas umum ( generalized reciprocity), resiprositas sebanding ( balanced reciprocity), dan reciprocitas negative (negative reciprocity).
1. Resiprositas umum (generalized reciprocity)
Resiprositas ini, individu atau kelompok memberikan barang atau jasa kepada individu atau kelompok lain tanpa menentukan batas waktu pengembalian. Dalam resiprositas umum tersebut tidak ada hukum yang dengan ketat mengontrol seseorang untuk memberi atau mengembalikan. Hanya moral saja yang mengontrol dan mendorong pribadi-pribadi untuk menerima resiprositas umum sebagai kebenaran yang tidak boleh dilanggar. Pelanggaran mungkin akan akan dinilai sebagai suatu perbuatan munafik, dosa, durhaka, tidak bermoral dan sebagainya. Orang yang melanggar kerja sama resiprositas ini bisa mendapat tekanan moral dari “masyarakat” atau “kelompok” berupa peringatan atau gunjingan yang dapat menurunkan martabat dalam pergaulan di masyarakat.
Sistem resiprositas umum biasanya berlaku di lapangan-lapangan orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat dekat. Berdasarkan faktor-faktor genetis mereka mempunyai naluri untuk meneruskan keturunan dan melindungi anggota-anggotanya bukan semata-mata dilandasi oleh harapan-harapan akan pengembalian dan haknya, tetapi sebagai suatu kodrat yang dibenarkan secara subyektif. Meskipun faktor genetis patut diperhitungkan terhadap gejala resiprositas umum dalam lingkungan kerabat, tetapi terjadinya gejala tersebut merupakan peristiwa kebudayaan yang keberadaannya tergantung dari proses-proses sosial-kultural yang terjadi dalam masyarakat. Selain itu, konsepsi tentang kerabat dan bukan kerabat merupakan konsepsi yang bersifat kultural, bukan genetik. Dalam masyarakat yang menganut sistem kekerabatan keluarga luas (extended family) misalnya, resiprositas umum menjadi mekanisme yang penting untuk mengatur distribusi barang dan jasa antar keluarga batin.
2. Resiprositas sebanding (balanced reciprocity)
Resiprositas ini menghendaki barang atau jasa yang dipertukarkan mempunyai nilai yang sebanding. Kecuali dalam pertukaran tersebut disertai dengan kapan pertukaran itu berlangsung, kapan memberikan, menerima, dan mengembalikan. Pertukaran ini dapat dilakukan individu dua atau lebih. dalam pertukaran ini, masing-masing pihak membutuhkan barang atau jasa dari partner-nya, namun masing-masing tidak menghendakai untuk memberi dengan nilai lebih dibandingkan dengan yang akan diterima. Jadi berbeda dengan resiprositas umum dimana individu-individu atau kelompok-kelompok terikat oleh solidaritas yang kuat sehingga mereka merupakan satu unit, satu satuan sosial yang utuh.
Ciri resiprositas sebanding ditunjukkan oleh adanya norma-norma atau aturan-aturan atau sanksi-sanksi sosial untuk mengontrol individu-individu dalam melakukan transaksi. bila individu melanggar perjanjian resiprositas, ia mungkin mendapat hukuman atau tekanan moral dalam masyarakat, keputusan untuk melakukan kerja sama resiprositas berada di tangan masing-masing individu. Kerja sama ini muncul karena adanya rasa kesetiakawanan Resiprositas sebanding berada di antara resiprositas umum dengan dengan resiprositas negatif. Secara umum dapat dikatakan bahwa Fungsi resiprositas sebanding adalah membina solidaritas sosial dan menjamin kebutuhan ekonomi sekaligus mengurangi resiko kehilangan yang dipertukarkan. Namun demikian, fungsi sosial tersebut dapat rusak kalau salah satu pihak tidak konsekuen dalam mengembalikan.
3. Resiprositas negatif (negative reciprocity)
Studi tentang gejala pertukaran di dalam perekonomian primitive dan peasant pada mulanya lebih menekankan pada upaya untuk memahami fungsi resiprositas dalam suatu perekonomian dan universalitas dari prinsip-prinsip resiprositas. Transformasi ekonomi di bidang system pertukaran yang terjadi dalam perekonomian masyarakat did Negara-negara berkembang merupakan suatu proses yang terus berjalan. Proses ini sementara menggambarkan dua pola besar. Pertama, hilangnya bentuk-bentuk pertukaran modern. Kedua, munculnya dualisme pertukaran.
Dalam sejarah perkembangan ekonomi, resiprositas merupakan bentuk pertukaran yang muncul sebelum pertukaran pasar. Lambat laun resiprositas tersebut lenyap dan kehilangan fungsi-fungsinya sebagai akibat masuknya sistem ekonomi uang. Dengan berkembangnya uang sebagai alat tukar, maka barang dan jasa kehilangan nilai simboliknya yang luas dan beragam maknanya karena uang dapat berfungsi memberikan nilai standar obyektivitas terhadap barang dan jasa yang dipertukarkan.
Beberapa penelitian antropologi telah mengungkapkan bahwa intervensi ekonomi uang ke dalam sistem ekonomi tradisional tidak selalu menghilangkan sama sekali eksistensi tata nilai lama. Resiprositas sering dinilai sebagai bentuk pertukaran yang manusiawi jika dibandingkan dengan pertukaran pasar. Prinsip kekeluargaan dan kesetiakawanan merupakan bukti bahwa resiprositas lebih manusiawi daripada pertukaran pasar. Wajah resiprositas yang bersifat manusiawi, di lain pihak, sering dipakai para politisi untuk memobilisasi sumber daya dalam masyarakat.
TEORI PEMBERIAN
Sistem dari pemberian-pemberian hadiah secara kontrak di Samoa tidak terbatas hanya dalam hal perkawinan; sistem ini juga muncul dalam peristiwa-peristiwa kelahiran bayi, sunatan, sakit, anak perempuan menginjak pubertas, upacara penguburan orang mati, dan perdagangan. Dua unsur dari potlatch dalam kenyataannya untuk: kehormatan atau harga diri, prestise atau mana yang diikuti oleh kekayaan; dan kewajiban mutlak untuk melakukan pengembalian-pengembalian hadiah yang telah diterima yang diatur oleh adanya hukuman akan kehilangan mana, otoritas, dan kekayaan, kalau tidak melakukannya. Dalam upacara-upacara kelahiran bayi, setelah menerima oloa (harta kekayaan yang bersifat laki-laki) dan tonga (harta kekayaan yang bersifat perempuan), suami dan istri yang melakukan upacara tersebut dalam keadaan tidak lebih kaya daripada sebelumnya. Walaupun demikian mereka itu mempunyai kepuasan dalam mencapai apa yang mereka anggap sebagai kehormatan besar, yaitu adanya harta kekayaan yang mereka kumpulkan selama upacara kelahiran bayi tersebut berlangsung. Pemberian-pemberian ini mungkin sekali pada hakikatnya didasari oleh adanya kewajiban untuk melakukannya dan yang bersifat permanen, dan pengembalian-pengembalian hadiah dilakukan hanya melalui sistem hak dan kewajiban yang memaksakan mereka untuk melakukannya. Sedangkan bagi orang Maori mempunyai sistem tukar-menukar, atau lebih tepat memberi hadiah-hadiah yang pada waktu kemudian harus diimbali atau dibayar kembali. Tukar-menukar dilakukan di antara suku-suku atau keluarga-keluarga yang saling kenal tanpa sesuatu ketentuan atau tawar-menawar untuk saling setuju.
Diinterprestasikan demikian, jadi tidak hanya membuat maknanya menjadi jelas, tetapi ini ternyata muncul sebagai salah satu dari adat-istiadat Maori. Kewajiban yang menempel pada suatu hadiah pemberian bukanlah sesuatu yang “tak berdaya”. Bahkan dalam keadaan tidak diperdulikan oleh si pemberi hadiah, kewajiban tersebut masih menempel pada dan menjadi bagian dari diri si pemberi tersebut. Melalui itu, ia mempunyai kekuasaan atas si penerima hadiah, sementara si pemilik mempunyai kekuasaan atas siapa saja yang mencurinya dari dia.
Prestasi total atau menyeluruh bukan hanya secara bersamaan dengannya membawa kewajiban untuk membayar kembali atau mengimbali pemberian yang telah diterima, tetapi mencakup dua hal lainnya yang sama-sama pentingnya, yaitu: kewajiban memberikan hadiah-hadiah dan kewajiban untuk menerimanya. Sebuah klen, rumah tangga, perkumpulan atau tamu terbatas untuk melakukan barter atau untuk membuat persekutuan-persekutuan darah atau perkawinan. Orang Dayak bahkan telah mengembangkan sejumlah cara yang didasarkan pada kewajiban untuk turut bersama-sama makan segala makanan yang disajikan atau seseorang itu melihat makanan tersebut sedang dimasak
Kewajiban untuk memberi hadiah tidaklah kurang pentingnya. Jika memahami hal ini, maka seharusnya juga mengetahui mengapa manusia sampai melakukan tukar-menukar benda satu dengan lainnya. Menolak untuk memberi hadiah, atau lalai mengundang, adalah sama dengan menolak untuk menerima sama dengan membuat suatu pernyataan perang; ini sama dengan suatu penolakan terhadap saling berhubungan dan persahabatan. Jadi seseorang dapat dikatakan memberi hadiah karena dia didorong untuk melakukan hal itu, karena si penerima mempunyai semacam hak pemilikan atas segala sesuatu yang menjadi milik si donor. Jadi di Australia, orang yang berhutang hewan hasil perburuan yang dibunuhnya kepada bapak dan ibu mertuanya, tidak boleh makan apa pun di hadapan mereka. Terlihat jelas bahwa taonga anak laki-laki dari saudara perempuan mempunyai adat-istiadat seperti ini di Samoa, yang dapat dibandingkan dengan yang dimiliki oleh anak laki-laki saudara perempuan (vasu) di Fiji. Pola dari hak-hak dan saling membalas yang simetris tidaklah sukar untuk dipahami bahwa yang pertama-tama dan yang terpenting adalah sebuah pola dari ikatan-ikatan spiritual di antara benda-benda yang dalam hal-hal tertentu merupakan perluasan dari bagian-bagian pribadi-pribadi, dan pribadi-pribadi dan kelompok-kelompok yang berkelakuan dalam batas-batas tertentu seolah-olah kesemuanya ini adalah benda-benda.
Semua pranata ini menyikapkan pola sosial dan psikologi yang sama macamnya. Makanan, perempuan, anak-anak, harta milik mantera-mantera, tanah,pekerjaan, pelayanan-pelayanan, jabatan-jabatan keagamaan, pangkat segalanya merupakan hal yang harus diberikan kepada orang lain dan dibayarkan kembali. Dalam saling menerima dan memberi hadiah-hadiah yang berlangsung tetap dan terus-menerus, unsur-unsur ini beredar dan beredar kembali di antara klen-klen dan individu-individu, pangkat-pangkat, jenis kelamin dan generasi-generasi.
Manusia berkata bahwa saling tukar-menukar hadiah membawa harta kekayaan yang melimpah-ruah. Ini terungkap di antara orang Toraja di Sulawesi. ‘Pemilik’ dapat membeli dari roh-roh hak untuk melakukan hal-hal tertentu dengan harta miliknya atau lebih tepat ‘harta milik’ mereka. Sebelum ia menebang pohon atau menggali kebunnya atau memagari rumahnya dia harus memberikan suatu pembayaran kepada dewa-dewa. Jadi walaupun masalah membeli nampaknya sangat kecil perkembangannya pada tingkat kehidupan ekonomi secara perorangan di antara orang Toraja. Pemberian hadiah kepada sesama manusia dan kepada dewa-dewa mempunyai tujuan yang lebih jauh untuk membeli perdamaian. Dalam cara ini pengaruh-pengaruh setan akan dapat ditekan, bahkan walaupun pada waktu tidak dipersonifikasi; karena kutukan manusia akan memungkinkan bagi roh-roh yang cemburu dan dengki untuk merasuki dan membunuh seseorang dan memberi izin pengaruh jahat untuk bertindak, dan jika seseorang melakukan kesalahan terhadap seseorang lainnya, seseorang menjadi tidak berdaya terhadap mereka.
Mengenai sedekah, pada orang Hausa seringkali terjadi suatu penyakit demam epidemik pada waktu jagung-guinea sudah siap dipanen, dan cara satu-satunya untuk mengatasinya adalah dengan cara memberikan hadiah-hadiah gandum kepada orang-orang miskin. Selain itu, diantara Orang Hausa di Tripolitania, pada saat dilakukannya sembahyang besar (Baban Salla), anak-anak pergi berkeliling ke gubuk-gubuk penduduk dan berkata: “Bolehkah saya masuk?” Jawaban yang mereka terima adalah: “Oh telinga kelinci yang dilobangi, untuk sepotong tulang seseorang memperoleh pelayanan” (orang miskin berbahagia untuk dapat bekerja dengan orang kaya). Pemberian kepada anak-anak dan orang miskin membuat mereka yang sudah mati merasa berbahagia. Adat-istiadat ini barangkali berasal dari islam, atau mungkin bersumber dari Islam, Negro, Eropa dan Berber.
Disinilah asal mulanya sebuah teori mengenai sedekah. Sedekah di satu pihak merupakan hasil dari ide moral tentang pemberian hadiah dan harta kekayaan dan di pihak lainnya merupakan hasil dari ide tentang korban. Kemurahan hati atau kedermawanan dengan cara memberi hadiah-hadiah kepada mereka yang miskin dan kepada dewa-dewa merupakan syarat penting karena kalau tidak maka Nemesis akan menghancurkan kekayaan dan kebahagiaan yang berlebihan dari si kaya. Ini merupakan moralitas hadiah yang sudah tua yang diangkat ke sesuatu posisi dari suatu prinsip keadilan: dewa-dewa dan roh-roh menyetujui bahwa bagian-bagian yang diperuntukkan bagi mereka dan yang dihancurkan dalam bentuk korban yang tidak ada gunanya yang disajikan kepada mereka adalah sebaiknya dan seharusnya diberikan kepada orang miskin dan anak-anak. Tema ini hanyalah sekedar memperlihatkan pengetahuan yaitu menggeser permasalahan dan menunjukkan bahwa setidak-tidaknya kewajiban untuk memberi itu mempunyai penyaluran yang lebih luas. Kemudian kita akan memperlihatkan persebaran tipe-tipe lain dari kewajiban memberi tersebut dan menunjukkan bahwa interpretasi kita betul untuk sejumlah kelompok dari masyarakat-masyarakat lainnya.
Comments
Post a Comment